gambar buddha

gambar buddha
Jangan Berbuat Jahat Tambahlah Kebajikan Sucikan Hati dan Pikiran Inilah Ajaran Para Buddha

Senin, 17 Januari 2011

sejarah agama buddha di Indonesia


Agama Buddha bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah agama baru. Ratusan Tahun yang silam agama ini pernah menjadi pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia, tepatnya pada zaman Kerajaan Sriwijaya dan Keprabuan Majapahit.
      Candi Borobudur, salah satu warisan kebudayaan bangsa yang amat kita banggakan, tidak lain cerminan dari kejayaan agama Buddha di zaman lampau.
     Sekitar tahun 423 M biksu Gunawarman datang ke negeri Cho Po (jawa) untuk menyebarluaskan ajaran Buddha. Ternyata ia memeroleh perlindungan dari penguasa setempat, sehingga misinya menyebar luaskan ajaran Buddha berjalan lancar. Semua ini tercatat di dalam buku Gunawarman; dan jika didasarkan pada buku ini maka kemungkinan besar ia adalah seorang perintis pengembangan agama Buddha di Indonesia pada zaman tersebut.
     Berdasarkan catatan dari Dinasti Tang di Tiongkok, pada pertengahan abad ke-7 di Jawa Tengah terdapat sebuah kerajaan yang menganut agama Buddha, namanya Kaling. Di Tiongkok nama itu lebih dikenal dengan sebutan Ho Ling. Kerajaan ini sangatalah tertib dan tentram walaupun dipimpin oleh seorang wanita tangan besi yang bernama Ratu Sima. Ho Ling saat itu menjadi pusat ilmu pengetahuan agama Buddha, dan tidak sedikit orang Tionghoa dari dataran Cina datang ke negeri tersebut untuk belajar Buddha, walau pun pada zaman Dinasti Tang agama Buddha telah menjadi agama resmi di negeri Cina.
   
     Dalam abad ke-7 dan ke-8 antara India dengan Cina terjalin hubungan yang ramai. Hubungan tersebut tidak semata-mata di bidang perdagangan, melainkan juga dalam ilmu pengetahuan dan agama Buddha. Antara tahun 618 hingga 907 Cina diperintah oleh Dinasti Tang, sedang di India dalam abad ke-7 berkuasa Raja Harcha yang bersikap toleran terhadap agama Buddha. Maka pada zaman itu banyak musafir dan biksu dari Cina yang berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India.
       Dalam pertengahan abad ke-7 ini pula Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi pelabuhan penting di tepi perairan Selat Malaka, urat nadi lalu-lintas penting antara India-Cina. Selama beberapa abad, kerajaan ini memegang hegemoni lautan. Sriwijaya boleh dikatakan pusat perdagangan dan pusat agama Buddha  di Asia Tenggara. Agama Buddha di zaman Sriwijaya adalah agama Buddha aliran Mahayana yang memperdalam bahasa Sansekerta.
       
Antara tahun 850 hingga awal abad ke-13, Kerajaan Sriwijaya diperintah oleh keluarga Sailendra yang pernah berkuasa di Mataram, Jawa Tengah, antara tahun 778-850. Selama 75 tahun berkuasa di Mataram, keluarga Sailendra banyak mendirikan bangunan suci Buddhis berupa candi seperti Candi Kalasan, Plaosan, Sari, Borobudur, Pawon, dan Mendut. Sriwijaya kemudian meluaskan kekuasaannya sampai ke Muangthai Selatan yang sekarang disebut Suratani dan Pattani. Candi-candi yang dibuat oleh Sriwijaya di sana antara lain Vihara Mahadhata di Jaiya dan Vihara Mahadhata di Nakorn Sitnamart yang sampai sekarang masih ada dan bentuk bangunan, arca-arca Buddha serta Bodhisattva mirip dengan yang terdapat di Jawa.
        Attisa, biksu yang sangat terkenal dari Tibet yang membangun kembali agama Buddha di negara tersebut pernah datang ke Sumatra dan tinggal di sana dari tahun 1011 - 1023. Ia belajar di bawah bimbingan Dharmakirti, seorang biksu terkemuka di zaman Sriwijaya. berdasarkan catatan biografi Attisa yang di tulis di Tibet, Sumatra adalah pusat utama agama Buddha, sedang biksu Dharmakirti adalah seorang cendekiawan terbesar di zaman itu.
        Kedatangan  para dharmaduta ke Nusantara mendorong banyak orang pergi berziarah ke India untuk mengunjungi tempat-tempat suci dan pusat-pusat agama Buddha seperti Universitas Nalanda. Setelah kembali ke Indonesia mereka mendirikan candi-candi dengan berbagai bentuk dan ukuran.

        Agama Buddha yang semula berkembang di Pulau Jawa dan Sumatra adalah beraliran Theravada yang dikembangkan oleh biksu Gunawarman. Lambat-laun aliran ini terdesak oleh aliran-aliran lain yang masuk ke Indonesia setelah mereka memunyai kedudukan yang kuat di India. Hal ini terlihat dengan berdirinya Candi Kalasan yang dipersembahkan untuk Dewi Arya Tara (personifikasi Prajnaparamita menurut aliran Tantrayana, salah satu sekte agama Buddha Mahayana) pada tahun 779 M. Dari catatan epigrafik diketahui bahwa salah satu dari raja Sailendra di Jawa memunyai guru bernama Kumaraghosa dari negeri Ganda (Bengal) yang menganut faham Tantrayana. Hal tersebut mendorong berkembangnya agama Buddha Mahayana.
        Kehidupan agama Buddha pada masa Kerajaan Mataram Kuno bisa dilihat dari Prasasti Canggal, sebelah baratdaya Magelang, yang dikeluarkan oleh Raja Sanjaya. Pasasti tersebut menyebutkan bahwa pada tahun 654 Saka (732 M) hari Senin tanggal 13 terang bulan Kartika, Raja Sanjaya mendirikan sebuah lingga yang merupakan lambang dari Dewa Siwa yang dipuja oleh raja dan rakyatnya. Sanjaya sendiri putra Sannaha, saudara perempuan Raja Sanna yang memerintah sebelum Sanjaya.
        Pada masa pemerintahan Raja Panangkaran tahun 775, Dinasti Syailendra mulai berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan sehingga kekuasaan Dinasti Sanjaya terdesak ke utara Jawa Tengah, yakni sekitar dataran tinggi Dieng. Di sana Sanjaya mendirikan beberapa candi, antara lain Candi Bimo, Arjuno, Semar, dan Argopuro.
        Raja-raja yang berkuasa pada zaman Dinasti Sailendra ialah Bhanu (752-775), Wisnu (775-782), Indra (782-812), Samaratungga (812-833), dan Balaputradewa (833-856). Prasasti-prasasti Sailendra ialah Prasasti Kalasan pada tahun 778, dengan menggunakan huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta; Prasasti Kelurak dekat Yogya tahun 782, juga memakai huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta; Prasasti Karang Tengah dekat Temanggung pada tahun 824 dengan memakai bahasa Sansekerta dan huruf Jawa Kuno; dan Prasasti Kahulunan, Kedu, pada tahun 842 yang ditulis dalam bahasa dan huruf Jawa Kuno.
        Selama pemerintahan Sailendra, banyak bangunan candi yang didirikan sebagaimana telah disinggung di atas. Satu di antara candi-candi yang tersohor adalah Borobudur yang didirikan pada masa Raja Samaratungga. Candi Sajiwan dan Plaosan dibangun pada masa pemerintahan suami-istri Rakai Pikatan-Pramodawardhani (putri Samaratungga). Nampaknya pengaruh Pramodawardhani sangat besar, sehingga yang dibangun adalah candi bercorak Buddha. Raja Rakai Pikatan sendiri beragama Siwa (Hindu). Jelas pada masa itu terdapat rasa toleransi agama yang besar.
        Perkawinan Rakai Pikatan yang beragama Siwa dan Pramodawardhani yang beragama Buddha bersifat politis untuk menghadapi Balaputra yang sedang berkuasa, selain untuk mencapai kerukunan antara dua dinasti yang sedang bersaing dan bahkan saling bertentangan. Balaputra dan Pramodawardhani bersaing untuk menduduki jabatan Raja Mataram.
        Sejak pemerintahan Rakai Pikatan, dan kemudian disusul oleh Rakai Kayuwangi (856-886), Rakai Watukumalang (886-898), Balitung (898-910), Daksa, Tulodong dan Wawa, pemerintahan Dinasti Sanjaya semakin berkembang. Pada masa Raja Wawa, pusat kekuasaan Mataram dipindahkan ke Jawa Timur, sehingga peranan Jawa Timur selama dua abad kemudian berhasil menggantikan kedudukan Jawa Tengah.
        Ada dua pendapat tentang apa sebabnya pusat pemerintahan Kerajaan Mataram dipindahkan yang ditandai juga dengan perpindahan massal rakyat ke Jawa Timur. Pertama, mereka yang berpendapat perpindahan itu akibat meletusnya Gunung Merapi yang banyak menimbulkan bencana dan korban. Menurut kepercayaan rakyat, meletusnya gunung Merapi menunjukkan kemarahan para dewa. Kedua, pendapat bahwa perpindahan terjadi karena tarikan faktor ekonomi di Jawa Timur yang semakin besar, di mana perdagangan dan pelayaran laut dan sungai kian rarnai.
        Babak pertama pemerintahan Mataram di Jawa Timur dipegang oleh Dinasti Isana, nama yang diambil dari nama Sri Maharaja Rake Hino Sri Isana Wikramadjarmotunggadewa, bergelar Mpu Sendok. Bagaimana Mpu Sendok naik takhta, kurang diketahui. Namun diduga melalui perkawinannya dengan putri Wawa. Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkannya, ternyata Mpu Sendok banyak menaruh perhatian pada perdagangan dan pelayaran di Kali Brantas selain pertanian. Mpu Sendok juga dikenal memerintah dengan lebih demokratis dan menaruh minat pada soal-soal hukum serta kesusastraan.
        Mpu Sendok sendiri penganut agama Hindu, sehingga timbul kesan adanya toleransi agama yang sangat kuat di masa itu. Nampaknya antara agama Hindu yang dianut di Kutai, Taruma, dan Mataram pada satu pihak, dengan agama Buddha yang dianut Sriwijaya dan Mataram (masa Dinasti Sailendra) di lain pihak, pernah terjadi persaingan dan perbenturan. Namun kemudian terjadi toleransi yang diawali oleh perkawinan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani. Hal mana dilanjutkan pada masa pemerintahan Isana dan kemudian terjadi "pembauran" antara Hindu dan Buddha sehingga batas kedua agama itu semakin kabur pada masa Singasari dan Majapahit. Pembauran kedua agama ini masih dapat disaksikan di Jawa dan Bali.
        Di antara raja-raja keturunan Mpu Sendok, yang paling berhasil adalah Airlangga. la adalah seorang raja yang ditaati oleh rakyatnya yang rela menyerahkan segala milik mereka demi kepentingan pemerintahaan Airlangga. Airlangga berhasil membawa Kerajaan Mataram pada puncaknya; tapi Airlangga pula yang meruntuhkan kerajaan itu.
        Runtuhnya Kerajaan Mataram sudah berada di ambang pintu tatkala Sanggramatunggadewi, orang kedua yang pantas menduduki takhta sesudah Airlangga, menolak jabatan besar tersebut. la lebih suka memilih hidup suci sebagai petapa di Pucangan, Gunung Penanggungan, dengan nama Kili Suci. Maka, Airlangga terpaksa minta bantuan Mpu Bharada yang sakti untuk membagi kerajaannya kepada kedua putranya, Janggala (Singasari) di bagian timur dan Kediri di bagian barat pada tahun 1041. Airlangga sendiri menjadi petapa pada tahun 1042 dengan nama Resi Gentayu sampai wafat pada tahun 1049 dan dimakarnkan di Tirtha, tempat permandian Jalatunda dekat Desa Belahan di sebelah timur Gunung Penanggungan. Airlangga sebagai penjelmaan Wisnu diwujudkan dalam bentuk Wisnu sedang naik seekor burung garuda.
        Umat Buddha dan Hindu dalam zaman Keprabuan Majapahit, berhasil mengantarkan Nusantara memasuki zaman keemasannya. Kejayaan Majapahit dapat terwujud antara lain disebabkan karena adanya kerukunan intern umat Buddha dan kerukunan intern umat Hindu serta adanya kerukunan hidup antara umat Buddha dan umat Hindu. Maharaja Hayam Wuruk dalam menjalankan pemerintahannya didampingi oleh penasehat agung dalam keagamaan yakni Dharmadhyaksa ring Kasongatan dari golongan Buddha dan Dharmadhyaksa ring Kasewan dari golongan Hindu. Kerukunan hidup umat beragama pada zaman Majapahit dirintis dan dipelopori oleh pujangga Buddhis yang agung, Mpu Tantular. Dalam bait syair yang ada di dalam buku yang ditulisnya yakni kitab Sutasoma pujangga besar Mpu Tantular menulis: "Siwa Buddha Bhinneka Tunggal lka Tan Hana Dharma Mangrwa". Kalimat yang dapat mempersatukan umat beragama dan rakyat Majapahit pada waktu itu, yakni Bhinneka Tunggal lka, sekarang merupakan kalimat pemersatu bangsa Indonesia dan ditulis dalam lambang negara Garuda Pancasila.
        Setelah  mengalami zaman keemasan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan Mahapatihnya Gajah Mada yang beragama Buddha, akhirnya Majapahit  mengalami keruntuhan karena kerukunan hidup umat beragama serta persatuan kesatuan rakyat. Majapahit tidak dapat lagi dipertahankan. Terjadinya perpecahan dan pertentangan yang tidak henti-hentinya akhirnya membawa Majapahit sirna dari muka bumi ini. Bersama dengan itu agama Buddha juga mengalami pasang surut dalam perkembangannya, kemusnahannya semakin nyata dalam zaman penjajahan Belanda. Narnun demilkian, dalam zaman penjajahan Belanda pula agama Buddha mulai dipelajari dan dihayati oleh generasi muda yang terhimpun dalam Perhimpunan Theosofi Indonesia dan Sam Kauw.
Agama Buddha dalam Zaman Penjajahan
        Pada zaman penjajahan Belanda, di Indonesia hanya dikenal adanya tiga agama, yakni agama Kristen Protestan, Katolik, dan Islam, sedangkan agama Buddha tidak disebut-sebut. Hal ini adalah salah satu sikap pemerintah kolonial Belanda waktu itu. Dengan demikian agama Buddha dapat dikatakan sudah sirna di bumi Indonesia, tetapi secara tersirat di dalam hati nurani bangsa Indonesia, agama Buddha masih tetap terasa antara ada dan tiada.
        Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda di Jakarta didirikan Perhimpunan Theosofi oleh orang-orang Belanda terpelajar. Tujuan dari Theosofi ini mempelajari inti kebjaksanaan semua agama dan untuk menciptakan inti persaudaraan yang universal. Theosofi mengajarkan pula kebijaksanaan dari agama Buddha, di mana seluruh anggota Thesofi tanpa memandang perbedaan agama, juga mempelajari agama Buddha. Dari ceramah-ceramah dan meditasi agama Buddha yang diberikan di Loji Theosofi di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya, agama Buddha mulai dikenal, dipelajari, dan dihayati. Dari sini lahirlah penganut agama Buddha di Indonesia, yang setelah Indonesia merdeka mereka menjadi pelopor kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia.
        Dalam zaman penjajahan Belanda, di Jakarta timbul pula usaha untuk melestarikan ajaran agama Buddha, Konghucu, dan Lautse, yang mana kemudian lahir Organisasi Sam Kauw Hwee yang bertujuan untuk mempelajari ketiga ajaran agama dan kepercayaan tersebut. Dari sini pula kemudian lahir penganut agama Buddha, yang dalam zaman kemerdekaan agama Buddha bangkit dan berkembang. 
        Dalam tahun 1932 di Jakarta telah berdiri International Buddhist Mission Bagian Jawa dengan Yosias van Dienst sebagai Deputy Director General-nya. Tahun 1934 telah diangkat A. van der Velde di Bogor dan J. W. de Wilt di Jakarta, masing-masing sebagai Asistant Director yang membantu Yosias van Dienst. 
        Setahun sebelum berdirinya International Buddhis Mission Bagian Jawa, tepatnya tahun 1931, di Jakarta terbit majalah Mustika Dhamia yang dipimpin oleh Kwee Tek Hoay. Majalah Mustika Dharma memuat tentang pelajaran Theosofi, tentang agama Islam, tentang sari pelajaran dan Yesus, ajaran Krisnamurti, terutama mengenai ajaran agama Buddha (Buddha Dharma), Konghucu, dan Lautse. Majalah Mustika Dharma besar jasanya dalam menyebarluaskan kembali agama Buddha, sehingga agama Buddha mulai dikenal, dimengerti, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan. Atas prakarsa dari Kwee Tek Hoay kemudian lahir organisasi Sam Kauw, organisasi yang mempelopori kebangkitan agama Buddha di samping Perhimpunan Theosofi Indonesia, dan Pemuda Theosofi Indonesia, setelah Indonesia merdeka. 
Naiada Thera
     Tanggal 4 Maret 1934 Narada Thera menginjakkan kakinya di pelabuhan Tanjung Priok, disambut oleh Yosias van Dienst dan Tjoa Hin Hoay dan beberapa umat Buddha. Narada Thera adalah biksu yang pertama datang dari luar negeri setelah berselang kira-kira lima ratus tahun. Narada Thera telah memberikan ceramah agama Buddha di loji-loji theosofi dan di kelenteng-kelenteng di Bogor, Jakarta, Yogya, Solo, dan Bandung. Di Candi Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934 Narada Thera turut hadir dalam upacara penanaman pohon bodhi yang cangkokannya dibawa oleh lr. Meertenas dari Buddhagaya, India. Pohon bodhi yang telah tumbuh besar di Candi Borobudur itu kemudian dimatikan, karena merusak bangunan candi. Duta Besar Srilangka menyerahkan lagi cangkokan pohon. Pohon bodhi tersebut ditanam di kawasan luar Candi Borobudur disaksikan oleh Gubernur Supardjo Rustam. Pohon bodhi dari Duta Besar Srilangka itu adalah cangkokan dari pohon bodhi yang sampai sekarang masih tumbuh di Anuradhapura di Srilangka yang dahulu dibawa oleh Raja Mahinda ke Srilangka.
        Java Buddhist Association yang telah menerbitkan majalah Namo Buddhaya dalam bahasa Belanda, telah banyak menarik perhatian dan minat orang-orang Cina, yang pada waktu itu telah banyak menganut agama lain dan telah mengganti tradisi serta adat istiadat leluhurnya dengan kebiasaan Barat. Kemudian tahun 1932 Kwee Tek Hoay membentuk Sam Kauw Hwee yang anggotanya terdiri dari penganut agama Buddha, Konghucu, dan Lautse. Sam Kauw Hwee menerbitkan majalah Sam Kauw Gwat Po dalam bahasa Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, Sam Kauw Hwee kehilangan ketuanya dengan meninggalnya Kwee Tek Hoay tahun 1952. Sam Kauw Hwee lalu diorganisir kembali dengan masuknya beberapa organisasi kedalamnya, antara lain Tian Lie Hwee di bawah pimpinan Ong Tiang Biauw yang kemudian menjadi Bhiksu Jinaputta. Sam Kauw Hwee kemudian menjadi Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI) dengan Ketuanya yang pertama adalah The Boan An, yang sekarang dikenal sebagai Maha Sthavira Ashin Jinarakkhita Maha Thera. Dalam tahun 1962 di bawah pimpinan Drs. Khoe Soe Khiam, GSKI diubah namanya menjadi Gabungan Tri Dharma Indonesia dengan majalahnya bernama Tri Budaya.
Perkembangan Agama Buddha Sejak Kemerdekaan R.I.
     Perhimpunan theosofi yang bertujuan untuk membina persaudaraan universal melalui penghayatan pengetahuan tentang semua agama termasuk agama Buddha, telah menarik perhatian dan minat orang-orang Indonesia terpelajar. Dari mempelajari agama Buddha kemudian timbullah dorongan untuk menghayati dan mengamalkan ajaran agama Buddha. Dari sinilah bermulanya orang-orang Indonesia terpelajar mengenal agama Buddha sampai akhirnya menjadi penganut Buddha Dharma. Orang-orang Indonesia terpelajar yang kemudian menjadi umat Buddha melalui theosofi antara lain: M.S. Mangunkawatja, Ida Bagus Jelanti, The Boan An, Drs. Khoe Soe Khiam, Sadono, R.A. Parwati, Ananda Suyono, I Ketut Tangkas, Slamet Pudjono, Satyadharma, lbu Jamhir, Ny. Tjoa Hm Hoey, Oka Diputhera. Meski pun theosofi tidak bertujuan untuk membangkitkan kembali agama Buddha namun dari theosofi ini lahir penganut agama Buddha yang kemudian setelah Indonesia merdeka menjadi pelopor kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia. Karena itu, baik Perhimpunan Theosofi Indonesia mau pun Perhimpunan Pemuda Theosofi Indonesia secara tidak langsung memunyai andil yang besar dalam kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia.
        The Boan An yang menjadi pimpinan GSKI dan Perhimpunan Pemuda Theosofi Indonesia, kemudian ditahbiskan menjadi biksu di Burma dengan nama Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Sejak 2500 tahun Buddha Jayanti, tepatnya tahun 1956 saat kebangkitan kembali agama Buddha di bumi Indonesia, biksu Ashin Jinarakkhita-lah yang memimpin kebangkitan kembali agama Buddha ke seluruh lndonesia. Karena itu biksu Ashin Jinarakkhita dinyatakan sebagai Pelopor Kebangkitan agama Buddha secara nasional di Indonesia. Dari biksu Ashin Jinarakkhita lahir tokoh-tokoh umat Buddha di Indonesia seperti Sariputra Sadono, K. Karbono, Soemantri MS, Suraji Ariakertawijaya, Oka Diputhera, I Ketut Tangkas, Ida Bagus Gin, dan pimpinan Buddha lainnya yang sampai sekarang masih aktif dalam organisasi Buddhis. Dan ada pula di antaranya telah menjadi biksu seperti Ida Bagus Gin yang sekarang dikenal dengan nama Bhikkhu Girirakkhito.
        Jadi dari Gabungan Tri Dharma Indonesia dan Perhimpunan Theosofi Indonesia serta Perhimpunan Pemuda Theosofi Indonesia lahir penganut-penganut agama Buddha yang kemudian bersama-sama dengan biksu Ashin Jinarakkhita memelopori kebangkitan kembali agama Buddha dalam tahun kebangkitannya, yakni tahun 1956. Nama-nama yang mendampingi biksu Ashin Jmarakkhita dalam memelopori kebangkitan kembali agama Buddha dalam era 2500 tahun Buddha Jayanti tahun 1956 antara lain: M.S. Mangunkawatja, Sariputra Sadono, Sasanasobhana, Sosro Utomo, I Ketut Tangkas, Ananda Suyono, R.A. Parwati, Satyadharma, lbu Jayadevi Djamhir, Pannasiri Go Eng Djan, Ida Bagus Giri, Drs. Khoe Soe Khiam, Ny. Tjoa Hin Hoey, Harsa Swabodhi, Krishnaputra, Oka Diputhera, dan sebagainya.
        Organisasi Buddhis yang mempersiapkan kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia adalah International Buddhis Mission Bagian Jawa di bawah pimpinan Yosias van Dienst, yang banyak mendapat bantuan dari Perhimpunan Theosofi dan Gabungan Sam Kauw.
        Organisasi Buddhis yang mempelopori kebangkitan dan perkembangan agama Buddha di Indonesia sejak tahun 1950-an ialah Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang diketuai oleh Sariputra Sadono, kemudian oleh Karbono, Soemantri MS, Oka Diputhera (Sekjen) sampai kemudian berganti nama menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI) yang kemudian menjadi Majelis Upasaka Pandita Agama Buddhayana Indonesia. Yang membentuk PUUI adalah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dalam tahun 1954, sebagai pembantunya dalam menyebarkan agama Buddha di Indonesia.
        Kemudian Bhikkhu Ashin Jinarakkhita merestui berdirinya Perhimpunan Buddhis Indonesia tahun 1958 dengan Ketua Umumnya Sariputra Sodono dan Sekjen Sasana Sobhana. Kemudian Ketua Umum PERBUDHI adalah Soemantri MS dengan Sekjen Oka Diputhera. Perbudhi kemudian dilebur menjadi Budhi bersama-sama dengan organisasi Buddhis lainnya.
        Dalam tahun 1958 berdiri Sangha Suci Indonesia yang kemudian ganti nama menjadi Maha Sangha Indonesia. Maha Sangha Indonesia kemudian pecah melahirkan Sangha Indonesia. Dengan demikian di Indonesia terdapat dua Sangha yakiri Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia. Maha Sangha Indonesia dipimpin oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dan Sangha Indonesia dipimpin oleh Bhikkhu Girirakkhito.
        Tahun 1974 atas prakarsa Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, Gde Pudja MA, telah diadakan perternuan antara Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia. Hasil dan perternuan tersebut melahirkan Sangha Agung Indonesia, yakni gabungan dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia. Sebagai Maha Nyaka Sangha Agung Indonesia terpilih Sthavira Ashin Jinarakkhita.
        Kemudian setelah Kongres Umat Buddha Indonesia di Yogyakarta, di Indonesia terdapat tiga kelompok sangha, yakni Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia, dan Sangha Mahayana Indonesia yang sernuanya tergabung dalam Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI).
        Sangha Mahayana Indonesia dibentuk tahun 1978. Dewasa ini pengurusnya terdiri atas Biksu Dharmasagaro (Ketua Umum), Biksu Dharmabatama (Ketua 1), Biksu Sakyasakti (Ketua II), Biksu Dutavira (Sekretaris Umum), Biksu Dhyanavira (Sekretaris 1) dan Biksu Andhanavira (Sekretaris II). Sangha Mahayana Indonesia inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia. Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan ajaran Buddha Mahayana di Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia. 
        Mengingat upacara-upacara ritual agama Buddha dewasa ini umumnya masih menggunakan aksara Mandarin, maka sejak 1982 Biksu Dutavira dengan tidak mengenal lelah dan dengan kemampuan terbatas yang dimikinya berusaha mengembalikan bentuk-bentuk upacara dalam aksara Sansekerta serta bahasa Indonesia. Hal ini telah diterapkan di dua provinsi di Indonesia dengan memeroleh sambutan antusias sekali, khususnya dari para umat Buddha Mahayana. Apa yang dilakukan oleh Biksu Dutavira selama 4 tahun itu boleh dikatakan semacam merintis proyek pilot Pusdiklat Mahayana.
        Kini dirasa semakin mendesak untuk meningkatkan proyek pilot tadi dalam bentuk pusdiklat modern yang serba lengkap dan yang didukung pula oleh para akhli agama Buddha baik dari dalam negeri mau pun luar negeri. Rencana ini telah memeroleh izin prinsip dari Departemen Agama R.I. cq. Ditjen Bimas Hindhu-Buddha.
  
Sumber Tulisan:
http://www.geocities.com/tanahsuci/sejarah_agama_buddha_di_indonesi.htm (6 April 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagai mana dgn blog saya