Eko:"Wah, pusing nih, besok kalau gue meninggal kayaknya kagak disembahyangi nih, habis pegang hio, pasang foto gue dibilangin sama anak tidak boleh"
Sue: "Bukan loe aja, kalau bini gua beli banyak buah-buahan buat sembahyang, anak gue kagak ada satupun yang mau makan, katanya nggak boleh karena bekas sembahyang. Jadi daripada mesti buang, akhirnya beli seadanya saja"
Sugi:"Itu mah belum parah, yang parah tuh kalau gue lagi sembahyang leluhur dibilangin lagi sembah berhala, entar bisa jatuh ke Neraka"
Contoh pembicaraan di atas adalah cuplikan
yang tidak jarang kita dengar, saat kita melayat di rumah duka. Apakah hanya sebatas itu yang Anda harapkan dari anak Anda? Apakah Anda takut tidak ada yang menyembah-yangkan sesudah Anda meninggal, atau sekadar ingin dia hanya ikut pasang-pasang hio, dan sebagainya.
Tidak demikian, sesung-guhnya yang kita inginkan adalah agar anak kita dapat tumbuh menjadi anak yang baik, berbakti, pintar, bermoral, mempunyai ketahanan yang baik dalam menghadapi segala jenis masalah hidup, dan sebagainya. Aspek spiritual adalah aspek yang sangat mendasar dan paling penting dalam kehidupan baik bagi Anda maupun anak anda.
Masalah yang diungkapkan di atas, jika diartikan secara lebih khusus adalah, "Bagaimana orangtua Buddhis dapat mengajarkan ajaran Buddha dengan baik kepada anak-anaknya?" Pada kenyataaannya, aspek ini hampir terabaikan begitu saja. Bandingkan dengan para orangtua dari non-Buddhis, yang sejak kecil anaknya sudah dibaptis ataupun dipermandikan menjadi pengikut agama yang telah diyakini oleh orangtuanya. Orangtua Buddhis cenderung bersifat acuh tak acuh, dan dengan argumen bahwa biarlah kelak dia bisa memilih agamanya sendiri, yang penting semua agama sama, mengajarkan kebaikan. Apakah benar demikian?
Artikel ini dimaksudkan untuk dapat menjadi bahan perenungan bagi para orangtua Buddhis, yang sebagian disadurkan dari buku "How To Teach Buddhism to Children", Bodhi Leaves No.B.9. 1961, BPS, Sri Lanka (edisi ke-2, tahun 1975), karangan Dr. Helmuth Klar. Dari tahun penerbit dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya masalah ini telah lama menjadi topik yang begitu diperhatikan oleh para bhikkhu dan para pengikut Buddhisme di Srilangka maupun di dunia Barat.
Dalam makalahnya, Dr. Helmuth Klar berbagi pengalaman praktik dengan anaknya sendiri dan juga dengan anak-anak Barat lainnya, karena beliau tidak ingin berteori saja. Namun banyak sekali manfaat yang kita dapatkan dari pengalamannya tersebut.
Jika kita berada di negara Buddhis, di tengah-tengah tradisi Buddhis yang telah berabad-abad lamanya, posisi seorang anak Buddhis jauh lebih mudah. Namun tidak demikian dengan di Indonesia, di mana Buddhis merupakan minoritas dan dikelilingi oleh berbagai agama lain, sehingga dapatlah dimengerti peran orangtua merupakan faktor yang terpenting dalam menanamkan keyakinan pada anaknya.
Dan perlu disadari penanaman keyakinan pada anak kita secara otomatis akan berkaitan dengan cara hidup yang benar. Tanamkan keyakinan pada anak Anda sejak kecil mengenai kebesaran dan keagungan Sang Buddha.
Suatu ide yang sangat penting, bila sejak kecil anak-anak harus dilatih untuk yakin akan keagungan dan kemuliaan Sang Buddha. Penggunaan patung ataupun gambar Sang Buddha adalah suatu ide yang bagus untuk mengajarkan anak kita memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, sebagai guru yang agung untuk manusia. Jelaskan bahwa itu bukanlah penyembahan berhala seperti yang sering diajarkan oleh para pendidik agama non-Buddhis yang mengharuskan anak kita mengikuti pelajaran agamanya di sekolah yang berada dalam naungan suatu agama tertentu. Penggunaan patung Buddha sebagai objek konsentrasi penghormatan kepada Sang Buddha akan menjadi lebih efektif mengingatkan kita kepda Sang Guru Agung dibandingkan simbol-simbol lain. Ibarat seseorang menyimpan foto orangtuanya akan memudahkan dia untuk mengingat sifat-sifat luhur orangtua dibandingkan dengan barang-barang yang langsung pernah diberikan kepadanya.
Demikian juga penghormatan terhadap anggota Sangha dengan bersujud ataupun bernamaskara, perlu dijelaskan bahwa itu merupakan cara penghormatan yang tidak lain seperti penghormatan pada tradisi-tradisi lain, dan bukanlah menyembah orangnya.
Aspek filsafat dari Buddhisme yang cenderung terlalu dalam untuk dimengerti anak-anak dapat dituangkan dalam upacara-upacara sederhana yang lebih praktis untuk anak-anak. Latihlah anak-anak untuk melakukan upacara-upacara sederhana seperti persembahan air, dupa, lilin, ataupun bunga di altar patung/gambar Sang Buddha. Bahkan perlu juga dijelaskan secara seder-hana arti dari per-sembahan-persembahan tersebut. Dengan demikian akan mengembangkan kebiasaan menghormat dan merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha sejak kecil.
Memberikan visudhi kepada anak juga merupakan suatu hal yang sangat baik untuk mempertebal keyakinan kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Memberikan contoh yang baik
Cara penanaman keyakinan sesungguhnya sangat tergantung pada usia anak-anak kita, namun satu hal yang pasti dan paling penting adalah bila orangtuanya hidup sesuai Dhamm. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak cenderung akan mengikuti apa yang dilihat dan didengarnya saat itu juga.
Penanaman keyakinan kepada anak sangatlah tergantung pada seberapa besar orangtuanya merealisasikan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Contoh sederhana, orangtua (ayah dan ibu) yang tidak berbakti kepada orangtuanya (nenek dan kakek), akan menyebabkan anak-anaknya cenderung akan meniru sifat orangtuanya dan akan mengakibatkan penanaman sifat tidak berbakti dari sang anak kepada orangtua, yang sangat bertentangan dengan Dhamma.
Anda harus merealisasikan Dhamma dan tidak sekadar pembicaraan saja untuk dapat membuat diri Anda hidup dengan cara benar sehingga membawa kebahagiaan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, khususnya keluarga. Dengan cara itu berarti Anda telah memberikan contoh yang baik kepada anak Anda.
Menyampaikan cerita-cerita Buddhis kepada anak Anda
Anak-anak umum-nya suka dengan berbagai macam cerita, adalah suatu usaha yang baik, di mana orangtua Buddhis dapat menyisakan waktu sedikit, apakah setiap hari, dua hari sekali ataupun seminggu sekali, membacakan cerita-cerita Buddhis yang ringan, sesuai dengan usia anaknya, sehingga secara bertahap menanamkan keyakinan pada Buddha Dhamma lewat intisari cerita-cerita tersebut. Dapatlah diambil contoh, cerita-cerita Buddhis seperti Jataka, kisah asal usul syair Dhammapada (Dhammapada Atthakata), Petavatthu (cerita kisah peta), Vimanavatthu (cerita kisah dewa/dewi), kehidupan Pangeran Siddhattha hingga mencapai Buddha, kehidupan sosial selama kehidupan Sang Buddha, dan masih banyak lagi.
Karena secara psikologi anak-anak, mereka akan lebih mudah mengerti dan melekat di pikiran lewat cerita-cerita dari pada diberikan suatu motto yang ‘wah’ sekalipun. Dalam cerita-cerita sederhana yang umumnya menggambarkan orang jahat akan mengalami penderitaan dan orang yang baik ataupun berhati mulia akan mendapatkan kebahagiaan, secara sadar anak-anak kita akan berusaha menghindari perbuatan yang tidak terpuji di kemudian hari.
Anda juga dapat memperdengarkan cerita-cerita Buddhis lewat kaset, VCD, dan sebagainya, yang sudah tersedia.
Menerangkan Dhamma dengan cara sederhana
Tumbuhkanlah semangat Dhamma pada anak-anak sejak kecil, misalnya dengan mengajarkan ajaran dasar Buddhisme.
Ajarkanlah dan tunjukkan Metta (cinta kasih), Karuna (kasih sayang), dan Mudita (simpati) yang merupakan komponen penting dalam Buddhisme kepada anak sejak dini.
Latihlah anak Anda dengan lima sila dasar (tidak melaku-kan pembunuhan, tidak melakukan pencurian, tidak melakukan per-buatan asusila, tidak melakukan ucapan yang tidak benar, dan tidak meminum-minuman keras yang melemahkan kesadaran) dan apa yang harus dilakukan oleh seorang umat Buddha dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh umat Buddha.
Ajarkanlah dengan sederhana apa yang dimaksud dan mengapa harus melatih sila-sila tersebut dengan cara yang sederhana dan jangan dengan filsafat-filsafat yang kelihatannya hanya akan dimengerti oleh orang orang dewasa. Dapatlah diambil contoh, pelatihan untuk tidak berbohong, berikanlah penjelasan singkat mengapa tidak baik, beritahu anak Anda bahwa jika berbohong, dapat menyebabkan orang lain tidak akan mau percaya lagi apapun yang diucapkan lain kali.
Memperkenalkan syair-syair yang mudah, seperti bait-bait Dhammapada juga akan menambah wawasan anak-anak. Misalkan untuk mengembangkan sifat tidak membenci, bagi anak-anak dapatlah diterangkan syair Dhammapada 5 (Yamaka Vagga – Syair berpasangan):
"Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci, Inilah hukum abadi."
Perlu juga adanya persiapan referensi buku-buku Dhamma yang cocok untuk anak, misalkan buku ‘Ketika Anak Bertanya’ karangan Dhamma K.Widya, ‘Sang Buddha Pelindungku’ seri I sampai VI, terbitan Sangha Thervada Indonesia, dan banyak lagi buku lain yang dapat Anda peroleh di vihara-vihara sekitar Anda.
Selain itu anak-anak mempunyai kecenderungan yang tinggi terhadap musik/lagu, oleh karena itu orangtua dapat memperdengarkan lagu-lagu Buddhis kepada anak-anak sejak dini. Saat ini sudah banyak sekali lagu-lagu Buddhis untuk anak-anak yang dapat dibeli di bursa-bursa vihara maupun toko-toko Buddhis.
Karakter anak
Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para raja, pengemis, tuan tanah, petani, prajurit, pedagang, budak, filsuf, dan sebagainya. Beliau mengerti sepenuhnya karakter dari setiap orang yang berbeda, dan menyampaikan Dhamma yang mudah dimengerti dan dipahami dengan cara-cara yang disesuaikan dengan karakter masing-masing. Dengan cara yang sama kita harus berusaha mempelajari dan memahami karakter anak-anak kita agar kita dapat mengajarkan Dhamma pada mereka dengan cara paling efektif. Misalkan anak suka menggambar, berikan buku menggambar dan mewarnai tentang kisah-kisah Buddhis. Dan orangtua dapat menjelaskan arti-arti dari gambar tersebut secara sederhana.
Kegiatan-kegiatan spiritual
Anak-anak perlu diajak untuk selalu mengikuti peringatan-peringatan keagamaan, seperti menghadiri hari raya Waisak, Asadha, Kathina, Magha Puja, maupun hari-hari Uposatha, supaya merasa senang dan puas. Mengunjungi vihara-vihara di dalam maupun di luar kota bisa merupakan alternatif lainnya. Anak-anak perlu juga diajak untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah bernuansa Buddhis, seperti Candi Borobudur, Candi Mendut, dan kalau mampu dapat mengunjungi tanah suci kelahiran Pangeran Siddharta (Lumbini), tempat direalisasikannya Penerangan Sempurna (Bodhgaya), tempat Maha parinibbana (Kusinara), ataupun negara-negara Buddhis lainnya.
Jika usia anak sudah cukup, perlu memotivasi mereka untuk ikut serta dalam kegiatan bakti sosial ke rumah jompo, panti asuhan, kerja bakti di vihara, dan lain-lain. Mengunjungi sanak famili dan juga para bhikkhu adalah hal yang sangat dianjurkan untuk menumbuhkan rasa kepedulian terhadap suatu hubungan. Mengunjungi para bhikkhu dapat dimanfaatkan sebagai usaha untuk menambah keyakinan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Jika ada liburan sekolah, dapat juga melakukan dharmawisata ke desa-desa yang cenderung masih lebih alamiah, dan menunjukkan kepada anak-anak bagaimana mengembangkan cinta kasih terhadap sesama manusia maupun binatang. Bagaikan seorang pramuka yang baik, ajarkanlah untuk menolong wanita tua untuk membawa keranjang atau mendorong kereta dorong, dan sebagainya. Ajarkan untuk membawa seekor ikan yang hampir mati karena kurang air ke dalam kolam yang airnya cukup.
Kekebalan terhadap ajaran non-Buddhis dan materilisme
Orangtua harus memberikan perhatian dengan penuh kewaspadaan agar anak-anak tidak ditarik ke dalam jaring ‘ajaran lain’ dan juga materialisme, sehingga membuat pikirannya terbuka pada pancaran sinar Dhamma.
Perlu disadari, khususnya di Indonesia, agama Buddha merupakan agama minoritas dan di kelilingi oleh agama-agama ‘non-Buddhis’ dengan fasilitas dan sarana yang jauh di atas agama Buddha. Contoh paling sederhana penjaringan terjadi melalui beberapa sekolah bermutu yang dikelola oleh lembaga dari suatu ‘agama’ tertentu, sehingga banyak sekali anak-anak yang orangtuanya Buddhis menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah tersebut. Memang tidak wajib untuk menyekolahkan anak kita di sekolah-sekolah Buddhis karena mutunya yang kurang bagus, namun kita harus benar-benar mem-perhatikan perkem-bangan anak kita, sehingga tetap berpegang pada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Mengingat kondisi-kondisi lingkungan yang dijelaskan di atas, sangat perlu dijelaskan perban-dingan-perbandingan antara agama Buddha dengan agama-agama lain kepada anak kita. Kita harus menunjukkan keistimewaan ajaran Buddha dibandingkan dengan yang lain, sehingga membuat anak-anak kita kebal terhadap pengaruh-pengaruh luar, termasuk materialisme.
Di samping itu, saat anak-anak kita menanjak dewasa dan terutama selama masa remaja yang romantis, ada beberapa ritual yang menarik perhatian mereka, khususnya melalui musik, lagu, panduan suara, dan lain sebagainya. Untuk mencegah anak kita tertarik ke suatu ajaran non-Buddhis hanya karena musik semata-mata, dianjurkan supaya anak-anak sejak dini dikenalkan dengan musik, terutama yang bernuansa Buddhis, untuk mencegah mereka tergiur dengan mendengar lagu-lagu non-Buddhis.
Satu hal penting yang harus ditanamkan terus pada anak-anak kita adalah tanggung jawab diri sendiri. Misalnya setiap malam, ketika anak-anak lain berdoa, anak-anak Buddhis harus melewatkan waktu sedikit dengan meditasi dan merenungkan hal-hal yang telah dilakukannya. Bila mereka menyadari bahwa diri mereka belum berpikir, bicara dan bertindak sesuai ajaran Buddha, maka mereka harus berusaha untuk mengerti bagaimana menghindari kesalahan itu di lain waktu. Bila mereka menyadari bahwa diri mereka tidak dapat menghindari pikiran ataupun perbuatan buruk, maka orangtua harus membantu mereka, sehingga dapat pergi tidur dengan tekad untuk berbuat yang lebih baik pada esok harinya. Di pagi hari mereka dapat memulai hari yang baru dengan merenungkan kembali tekad mereka. Dengan cara ini, anak-anak akan mampu mengembangkan kekuatan dari pikiran mereka sendiri, sambil memurnikan pikiran dengan menanamkan kebaikan atau ketrampilan berpikir, berkata dan bertindak. Demikian juga jika anak-anak non-Buddhis melakukan doa sebelum makan, anak-anak Buddhis dapat diajarkan untuk merenungkan fakta bahwa makanan yang mereka makan adalah berfungsi untuk kesehatan fisik dan mental, bukan untuk berpoya-poya atau bersenang-senang.
Hukum karma akan menunjukkan kepada anak-anak kita lebih jelas dibandingkan dengan janji-janji indah yang didogmakan oleh ajaran tertentu. Anak-anak kita akan dituntun untuk melihat hukum sebab-akibat, ibarat biji pepaya akan tumbuh jadi buah pepaya dan tidak akan menjadi buah semangka, penebar kebajikan akan mendapatkan kebahagiaan sedangkan penebar kejahatan akan mendapatkan penderitaan.
Tanggung jawab diri sendiri yang ditanamkan dengan baik akan membentuk dan mengembangkan kualitas batin anak kita, sehingga akan membentuk dan memperkuat benteng alamiah terhadap agama kepercayaan lain di satu sisi dan menghindari penyalahgunaan filsafat mengenai materialisme di sisi lain.
Dengan uraian singkat di atas, semoga setiap orangtua Buddhis bisa terbuka dan mau melihat betapa pentingnya dan berharganya ‘pendidikan melalui keluarga’ terhadap anak-anak kita. Orangtua mempunyai peranan yang sangat penting bagaimana diri sang anak dibentuk.
Semoga kita tidak lagi mendengar pendapat: ‘Anak kami dapat memilih agamanya nanti, tepat seperti yang kita lakukan, dan kita tidak mempunyai hak untuk menentukannya.’
Anda sebagai orangtua, pasti sudah pernah mencari kesana kemari, dan menemukan bahwa agama Buddha adalah yang paling bagus ataupun cocok buat anda, mengapa anda masih ingin membiarkan anak anda mencari sendiri, setelah ajaran-ajaran dogma ataupun materialisme telah bekerja, dan anak-anak kita tidak lagi mempunyai kebebasan intelektual. Kita telah kalah ‘start’, di mana anak-anak sudah di-dogma sejak masuk sekolah dan hampir setiap hari dilakukan penanaman kepercayaan lain secara bertahap, sedangkan kita tidak melakukan apa-apa, apakah itu masih ‘adil’ bagi anak Anda?
Di dalam misi penyebaran Dhamma, Sang Buddha bersabda kepada enam puluh Arahat: "Kotbahkanlah Dhamma yang mulia pada awal, mulia pada pertengahan, mulia pada akhir. Umum-kanlah tentang kehidupan suci yang benar-benar suci dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya, demi keselamatan dan kesejahteraan semua makhluk".
Mengapa anda yang sudah mengenal Dhamma tidak anda sebarkan dan ajarkan kepada anak, yang pasti merupakan orang yang paling anda sayang?Membiarkan anak anda memilih agamanya tanpa dibimbing mengenai Buddha Dhamma adalah bagaikan melepaskan anak buta di hutan yang berbahaya tanpa diberi perlengkapan apapun, salah-salah bisa tertusuk duri, dimakan binatang buas, masuk jurang ,dsb.
Ingatlah, bahwa dari segala jenis pemberian baik materi maupun non-materi, pemberian Dhamma adalah pemberian yang paling berharga, bagaimana anda sebagai orangtua Buddhis bertanggung jawab karena kelalaian memberikan hadiah ini kepada anak anda?
Referensi:
"How to teach Buddhism to Children",
Dr. Helmuth Klar, Bodhi Leaves No.B.9
Sue: "Bukan loe aja, kalau bini gua beli banyak buah-buahan buat sembahyang, anak gue kagak ada satupun yang mau makan, katanya nggak boleh karena bekas sembahyang. Jadi daripada mesti buang, akhirnya beli seadanya saja"
Sugi:"Itu mah belum parah, yang parah tuh kalau gue lagi sembahyang leluhur dibilangin lagi sembah berhala, entar bisa jatuh ke Neraka"
Contoh pembicaraan di atas adalah cuplikan
yang tidak jarang kita dengar, saat kita melayat di rumah duka. Apakah hanya sebatas itu yang Anda harapkan dari anak Anda? Apakah Anda takut tidak ada yang menyembah-yangkan sesudah Anda meninggal, atau sekadar ingin dia hanya ikut pasang-pasang hio, dan sebagainya.
Tidak demikian, sesung-guhnya yang kita inginkan adalah agar anak kita dapat tumbuh menjadi anak yang baik, berbakti, pintar, bermoral, mempunyai ketahanan yang baik dalam menghadapi segala jenis masalah hidup, dan sebagainya. Aspek spiritual adalah aspek yang sangat mendasar dan paling penting dalam kehidupan baik bagi Anda maupun anak anda.
Masalah yang diungkapkan di atas, jika diartikan secara lebih khusus adalah, "Bagaimana orangtua Buddhis dapat mengajarkan ajaran Buddha dengan baik kepada anak-anaknya?" Pada kenyataaannya, aspek ini hampir terabaikan begitu saja. Bandingkan dengan para orangtua dari non-Buddhis, yang sejak kecil anaknya sudah dibaptis ataupun dipermandikan menjadi pengikut agama yang telah diyakini oleh orangtuanya. Orangtua Buddhis cenderung bersifat acuh tak acuh, dan dengan argumen bahwa biarlah kelak dia bisa memilih agamanya sendiri, yang penting semua agama sama, mengajarkan kebaikan. Apakah benar demikian?
Artikel ini dimaksudkan untuk dapat menjadi bahan perenungan bagi para orangtua Buddhis, yang sebagian disadurkan dari buku "How To Teach Buddhism to Children", Bodhi Leaves No.B.9. 1961, BPS, Sri Lanka (edisi ke-2, tahun 1975), karangan Dr. Helmuth Klar. Dari tahun penerbit dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya masalah ini telah lama menjadi topik yang begitu diperhatikan oleh para bhikkhu dan para pengikut Buddhisme di Srilangka maupun di dunia Barat.
Dalam makalahnya, Dr. Helmuth Klar berbagi pengalaman praktik dengan anaknya sendiri dan juga dengan anak-anak Barat lainnya, karena beliau tidak ingin berteori saja. Namun banyak sekali manfaat yang kita dapatkan dari pengalamannya tersebut.
Jika kita berada di negara Buddhis, di tengah-tengah tradisi Buddhis yang telah berabad-abad lamanya, posisi seorang anak Buddhis jauh lebih mudah. Namun tidak demikian dengan di Indonesia, di mana Buddhis merupakan minoritas dan dikelilingi oleh berbagai agama lain, sehingga dapatlah dimengerti peran orangtua merupakan faktor yang terpenting dalam menanamkan keyakinan pada anaknya.
Dan perlu disadari penanaman keyakinan pada anak kita secara otomatis akan berkaitan dengan cara hidup yang benar. Tanamkan keyakinan pada anak Anda sejak kecil mengenai kebesaran dan keagungan Sang Buddha.
Suatu ide yang sangat penting, bila sejak kecil anak-anak harus dilatih untuk yakin akan keagungan dan kemuliaan Sang Buddha. Penggunaan patung ataupun gambar Sang Buddha adalah suatu ide yang bagus untuk mengajarkan anak kita memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, sebagai guru yang agung untuk manusia. Jelaskan bahwa itu bukanlah penyembahan berhala seperti yang sering diajarkan oleh para pendidik agama non-Buddhis yang mengharuskan anak kita mengikuti pelajaran agamanya di sekolah yang berada dalam naungan suatu agama tertentu. Penggunaan patung Buddha sebagai objek konsentrasi penghormatan kepada Sang Buddha akan menjadi lebih efektif mengingatkan kita kepda Sang Guru Agung dibandingkan simbol-simbol lain. Ibarat seseorang menyimpan foto orangtuanya akan memudahkan dia untuk mengingat sifat-sifat luhur orangtua dibandingkan dengan barang-barang yang langsung pernah diberikan kepadanya.
Demikian juga penghormatan terhadap anggota Sangha dengan bersujud ataupun bernamaskara, perlu dijelaskan bahwa itu merupakan cara penghormatan yang tidak lain seperti penghormatan pada tradisi-tradisi lain, dan bukanlah menyembah orangnya.
Aspek filsafat dari Buddhisme yang cenderung terlalu dalam untuk dimengerti anak-anak dapat dituangkan dalam upacara-upacara sederhana yang lebih praktis untuk anak-anak. Latihlah anak-anak untuk melakukan upacara-upacara sederhana seperti persembahan air, dupa, lilin, ataupun bunga di altar patung/gambar Sang Buddha. Bahkan perlu juga dijelaskan secara seder-hana arti dari per-sembahan-persembahan tersebut. Dengan demikian akan mengembangkan kebiasaan menghormat dan merenungkan sifat-sifat mulia Sang Buddha sejak kecil.
Memberikan visudhi kepada anak juga merupakan suatu hal yang sangat baik untuk mempertebal keyakinan kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Memberikan contoh yang baik
Cara penanaman keyakinan sesungguhnya sangat tergantung pada usia anak-anak kita, namun satu hal yang pasti dan paling penting adalah bila orangtuanya hidup sesuai Dhamm. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak cenderung akan mengikuti apa yang dilihat dan didengarnya saat itu juga.
Penanaman keyakinan kepada anak sangatlah tergantung pada seberapa besar orangtuanya merealisasikan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Contoh sederhana, orangtua (ayah dan ibu) yang tidak berbakti kepada orangtuanya (nenek dan kakek), akan menyebabkan anak-anaknya cenderung akan meniru sifat orangtuanya dan akan mengakibatkan penanaman sifat tidak berbakti dari sang anak kepada orangtua, yang sangat bertentangan dengan Dhamma.
Anda harus merealisasikan Dhamma dan tidak sekadar pembicaraan saja untuk dapat membuat diri Anda hidup dengan cara benar sehingga membawa kebahagiaan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, khususnya keluarga. Dengan cara itu berarti Anda telah memberikan contoh yang baik kepada anak Anda.
Menyampaikan cerita-cerita Buddhis kepada anak Anda
Anak-anak umum-nya suka dengan berbagai macam cerita, adalah suatu usaha yang baik, di mana orangtua Buddhis dapat menyisakan waktu sedikit, apakah setiap hari, dua hari sekali ataupun seminggu sekali, membacakan cerita-cerita Buddhis yang ringan, sesuai dengan usia anaknya, sehingga secara bertahap menanamkan keyakinan pada Buddha Dhamma lewat intisari cerita-cerita tersebut. Dapatlah diambil contoh, cerita-cerita Buddhis seperti Jataka, kisah asal usul syair Dhammapada (Dhammapada Atthakata), Petavatthu (cerita kisah peta), Vimanavatthu (cerita kisah dewa/dewi), kehidupan Pangeran Siddhattha hingga mencapai Buddha, kehidupan sosial selama kehidupan Sang Buddha, dan masih banyak lagi.
Karena secara psikologi anak-anak, mereka akan lebih mudah mengerti dan melekat di pikiran lewat cerita-cerita dari pada diberikan suatu motto yang ‘wah’ sekalipun. Dalam cerita-cerita sederhana yang umumnya menggambarkan orang jahat akan mengalami penderitaan dan orang yang baik ataupun berhati mulia akan mendapatkan kebahagiaan, secara sadar anak-anak kita akan berusaha menghindari perbuatan yang tidak terpuji di kemudian hari.
Anda juga dapat memperdengarkan cerita-cerita Buddhis lewat kaset, VCD, dan sebagainya, yang sudah tersedia.
Menerangkan Dhamma dengan cara sederhana
Tumbuhkanlah semangat Dhamma pada anak-anak sejak kecil, misalnya dengan mengajarkan ajaran dasar Buddhisme.
Ajarkanlah dan tunjukkan Metta (cinta kasih), Karuna (kasih sayang), dan Mudita (simpati) yang merupakan komponen penting dalam Buddhisme kepada anak sejak dini.
Latihlah anak Anda dengan lima sila dasar (tidak melaku-kan pembunuhan, tidak melakukan pencurian, tidak melakukan per-buatan asusila, tidak melakukan ucapan yang tidak benar, dan tidak meminum-minuman keras yang melemahkan kesadaran) dan apa yang harus dilakukan oleh seorang umat Buddha dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh umat Buddha.
Ajarkanlah dengan sederhana apa yang dimaksud dan mengapa harus melatih sila-sila tersebut dengan cara yang sederhana dan jangan dengan filsafat-filsafat yang kelihatannya hanya akan dimengerti oleh orang orang dewasa. Dapatlah diambil contoh, pelatihan untuk tidak berbohong, berikanlah penjelasan singkat mengapa tidak baik, beritahu anak Anda bahwa jika berbohong, dapat menyebabkan orang lain tidak akan mau percaya lagi apapun yang diucapkan lain kali.
Memperkenalkan syair-syair yang mudah, seperti bait-bait Dhammapada juga akan menambah wawasan anak-anak. Misalkan untuk mengembangkan sifat tidak membenci, bagi anak-anak dapatlah diterangkan syair Dhammapada 5 (Yamaka Vagga – Syair berpasangan):
"Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci, Inilah hukum abadi."
Perlu juga adanya persiapan referensi buku-buku Dhamma yang cocok untuk anak, misalkan buku ‘Ketika Anak Bertanya’ karangan Dhamma K.Widya, ‘Sang Buddha Pelindungku’ seri I sampai VI, terbitan Sangha Thervada Indonesia, dan banyak lagi buku lain yang dapat Anda peroleh di vihara-vihara sekitar Anda.
Selain itu anak-anak mempunyai kecenderungan yang tinggi terhadap musik/lagu, oleh karena itu orangtua dapat memperdengarkan lagu-lagu Buddhis kepada anak-anak sejak dini. Saat ini sudah banyak sekali lagu-lagu Buddhis untuk anak-anak yang dapat dibeli di bursa-bursa vihara maupun toko-toko Buddhis.
Karakter anak
Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para raja, pengemis, tuan tanah, petani, prajurit, pedagang, budak, filsuf, dan sebagainya. Beliau mengerti sepenuhnya karakter dari setiap orang yang berbeda, dan menyampaikan Dhamma yang mudah dimengerti dan dipahami dengan cara-cara yang disesuaikan dengan karakter masing-masing. Dengan cara yang sama kita harus berusaha mempelajari dan memahami karakter anak-anak kita agar kita dapat mengajarkan Dhamma pada mereka dengan cara paling efektif. Misalkan anak suka menggambar, berikan buku menggambar dan mewarnai tentang kisah-kisah Buddhis. Dan orangtua dapat menjelaskan arti-arti dari gambar tersebut secara sederhana.
Kegiatan-kegiatan spiritual
Anak-anak perlu diajak untuk selalu mengikuti peringatan-peringatan keagamaan, seperti menghadiri hari raya Waisak, Asadha, Kathina, Magha Puja, maupun hari-hari Uposatha, supaya merasa senang dan puas. Mengunjungi vihara-vihara di dalam maupun di luar kota bisa merupakan alternatif lainnya. Anak-anak perlu juga diajak untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah bernuansa Buddhis, seperti Candi Borobudur, Candi Mendut, dan kalau mampu dapat mengunjungi tanah suci kelahiran Pangeran Siddharta (Lumbini), tempat direalisasikannya Penerangan Sempurna (Bodhgaya), tempat Maha parinibbana (Kusinara), ataupun negara-negara Buddhis lainnya.
Jika usia anak sudah cukup, perlu memotivasi mereka untuk ikut serta dalam kegiatan bakti sosial ke rumah jompo, panti asuhan, kerja bakti di vihara, dan lain-lain. Mengunjungi sanak famili dan juga para bhikkhu adalah hal yang sangat dianjurkan untuk menumbuhkan rasa kepedulian terhadap suatu hubungan. Mengunjungi para bhikkhu dapat dimanfaatkan sebagai usaha untuk menambah keyakinan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Jika ada liburan sekolah, dapat juga melakukan dharmawisata ke desa-desa yang cenderung masih lebih alamiah, dan menunjukkan kepada anak-anak bagaimana mengembangkan cinta kasih terhadap sesama manusia maupun binatang. Bagaikan seorang pramuka yang baik, ajarkanlah untuk menolong wanita tua untuk membawa keranjang atau mendorong kereta dorong, dan sebagainya. Ajarkan untuk membawa seekor ikan yang hampir mati karena kurang air ke dalam kolam yang airnya cukup.
Kekebalan terhadap ajaran non-Buddhis dan materilisme
Orangtua harus memberikan perhatian dengan penuh kewaspadaan agar anak-anak tidak ditarik ke dalam jaring ‘ajaran lain’ dan juga materialisme, sehingga membuat pikirannya terbuka pada pancaran sinar Dhamma.
Perlu disadari, khususnya di Indonesia, agama Buddha merupakan agama minoritas dan di kelilingi oleh agama-agama ‘non-Buddhis’ dengan fasilitas dan sarana yang jauh di atas agama Buddha. Contoh paling sederhana penjaringan terjadi melalui beberapa sekolah bermutu yang dikelola oleh lembaga dari suatu ‘agama’ tertentu, sehingga banyak sekali anak-anak yang orangtuanya Buddhis menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah tersebut. Memang tidak wajib untuk menyekolahkan anak kita di sekolah-sekolah Buddhis karena mutunya yang kurang bagus, namun kita harus benar-benar mem-perhatikan perkem-bangan anak kita, sehingga tetap berpegang pada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Mengingat kondisi-kondisi lingkungan yang dijelaskan di atas, sangat perlu dijelaskan perban-dingan-perbandingan antara agama Buddha dengan agama-agama lain kepada anak kita. Kita harus menunjukkan keistimewaan ajaran Buddha dibandingkan dengan yang lain, sehingga membuat anak-anak kita kebal terhadap pengaruh-pengaruh luar, termasuk materialisme.
Di samping itu, saat anak-anak kita menanjak dewasa dan terutama selama masa remaja yang romantis, ada beberapa ritual yang menarik perhatian mereka, khususnya melalui musik, lagu, panduan suara, dan lain sebagainya. Untuk mencegah anak kita tertarik ke suatu ajaran non-Buddhis hanya karena musik semata-mata, dianjurkan supaya anak-anak sejak dini dikenalkan dengan musik, terutama yang bernuansa Buddhis, untuk mencegah mereka tergiur dengan mendengar lagu-lagu non-Buddhis.
Satu hal penting yang harus ditanamkan terus pada anak-anak kita adalah tanggung jawab diri sendiri. Misalnya setiap malam, ketika anak-anak lain berdoa, anak-anak Buddhis harus melewatkan waktu sedikit dengan meditasi dan merenungkan hal-hal yang telah dilakukannya. Bila mereka menyadari bahwa diri mereka belum berpikir, bicara dan bertindak sesuai ajaran Buddha, maka mereka harus berusaha untuk mengerti bagaimana menghindari kesalahan itu di lain waktu. Bila mereka menyadari bahwa diri mereka tidak dapat menghindari pikiran ataupun perbuatan buruk, maka orangtua harus membantu mereka, sehingga dapat pergi tidur dengan tekad untuk berbuat yang lebih baik pada esok harinya. Di pagi hari mereka dapat memulai hari yang baru dengan merenungkan kembali tekad mereka. Dengan cara ini, anak-anak akan mampu mengembangkan kekuatan dari pikiran mereka sendiri, sambil memurnikan pikiran dengan menanamkan kebaikan atau ketrampilan berpikir, berkata dan bertindak. Demikian juga jika anak-anak non-Buddhis melakukan doa sebelum makan, anak-anak Buddhis dapat diajarkan untuk merenungkan fakta bahwa makanan yang mereka makan adalah berfungsi untuk kesehatan fisik dan mental, bukan untuk berpoya-poya atau bersenang-senang.
Hukum karma akan menunjukkan kepada anak-anak kita lebih jelas dibandingkan dengan janji-janji indah yang didogmakan oleh ajaran tertentu. Anak-anak kita akan dituntun untuk melihat hukum sebab-akibat, ibarat biji pepaya akan tumbuh jadi buah pepaya dan tidak akan menjadi buah semangka, penebar kebajikan akan mendapatkan kebahagiaan sedangkan penebar kejahatan akan mendapatkan penderitaan.
Tanggung jawab diri sendiri yang ditanamkan dengan baik akan membentuk dan mengembangkan kualitas batin anak kita, sehingga akan membentuk dan memperkuat benteng alamiah terhadap agama kepercayaan lain di satu sisi dan menghindari penyalahgunaan filsafat mengenai materialisme di sisi lain.
Dengan uraian singkat di atas, semoga setiap orangtua Buddhis bisa terbuka dan mau melihat betapa pentingnya dan berharganya ‘pendidikan melalui keluarga’ terhadap anak-anak kita. Orangtua mempunyai peranan yang sangat penting bagaimana diri sang anak dibentuk.
Semoga kita tidak lagi mendengar pendapat: ‘Anak kami dapat memilih agamanya nanti, tepat seperti yang kita lakukan, dan kita tidak mempunyai hak untuk menentukannya.’
Anda sebagai orangtua, pasti sudah pernah mencari kesana kemari, dan menemukan bahwa agama Buddha adalah yang paling bagus ataupun cocok buat anda, mengapa anda masih ingin membiarkan anak anda mencari sendiri, setelah ajaran-ajaran dogma ataupun materialisme telah bekerja, dan anak-anak kita tidak lagi mempunyai kebebasan intelektual. Kita telah kalah ‘start’, di mana anak-anak sudah di-dogma sejak masuk sekolah dan hampir setiap hari dilakukan penanaman kepercayaan lain secara bertahap, sedangkan kita tidak melakukan apa-apa, apakah itu masih ‘adil’ bagi anak Anda?
Di dalam misi penyebaran Dhamma, Sang Buddha bersabda kepada enam puluh Arahat: "Kotbahkanlah Dhamma yang mulia pada awal, mulia pada pertengahan, mulia pada akhir. Umum-kanlah tentang kehidupan suci yang benar-benar suci dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya, demi keselamatan dan kesejahteraan semua makhluk".
Mengapa anda yang sudah mengenal Dhamma tidak anda sebarkan dan ajarkan kepada anak, yang pasti merupakan orang yang paling anda sayang?Membiarkan anak anda memilih agamanya tanpa dibimbing mengenai Buddha Dhamma adalah bagaikan melepaskan anak buta di hutan yang berbahaya tanpa diberi perlengkapan apapun, salah-salah bisa tertusuk duri, dimakan binatang buas, masuk jurang ,dsb.
Ingatlah, bahwa dari segala jenis pemberian baik materi maupun non-materi, pemberian Dhamma adalah pemberian yang paling berharga, bagaimana anda sebagai orangtua Buddhis bertanggung jawab karena kelalaian memberikan hadiah ini kepada anak anda?
Referensi:
"How to teach Buddhism to Children",
Dr. Helmuth Klar, Bodhi Leaves No.B.9
yeyen:
Memng kita sebagai orang tua lah yang harus membimbing anak2 kejalan yang benar, karena anak2 masih polos, apa yang mereka terima itulah yang akan mereka terapkan di kemudian hari.Setelah membaca tulisan diatas saya ingin berbagi cerita, tanpa bermaksud apa2.Saya dulu sekolah di sekolah kristen. Aktif di gereja, dpt suami jg yg lulusan sekolah kristen. Tapi kami berdua tidak di baptis. Jd masih ikut or tu sembhayang leluhur dsb. Anak pertama kami jg di sekolahkan di sekolah katholik sampai kelas 4 SD bersama adiknya yg masih TK. Ketika Anak kedua kami mau masuk kelas 1 SD dan anak ke 3 kami mau masuk Playgroup kebetulan kami pindah rumah. Akhirnya kami mencarikan sekolah, yg lagi2 sekolah kristen yg deket rumah. Begitu kami pulang dari sekolah yg baru dengan membawa formulir pendaftaran, kami bertemu dgn tetangga dan merekomendasikan sekolah yg sama dengan anak nya yaitu sekolah Dharma Suci. Singkat cerita akhirnya anak kami pun sekolah di sekolah tersebut dan setiap minggu anak2 kami dianjurkan ke vihara untuk sekolah minggu. Semenjak itu saya dan suami mulai belajar agama buddha melalui buku pelajaran anak2 kami ataupun situs2 budhis. Lama kelamaan karena sering mengantar anak ke vihara, kami berdua mulai tertarik untuk kevihara. Pertma masuk vihara biasa2 aja. Lama-lama jd rutin seminggu sekali. Pokoknya kalau hari Minggu setengah harinya anak2 kami menghabiskan waktu buat pergi ke vihara, dan mereka tidak pernah mengeluh karena sudah terbiasa. Kalau mereka pengen kesuatu tempat mereka selalu mengatakan :"Ma, nanti habis dari vihara kita ke Megamall, ya?" Selalu Vihara yg jd tujuan utama. Sedangkan saya dan suami kalau Sabtu ikut kebaktian di VPDS. Kadang2 kami suka bersama teman2 dengan mengajak anak2 pergi ke vihara untuk dana makanan buat para bhikhu. Rasanya memang beda kalau sekeluarga mempelajari agama yg sama. Kalau berbicara topikny engak kemana-mana, selalu ajaran sang Buddha yg jadi patokkan. Saya sangat bersyukur anak2 saya bisa sekolah di sekolah buddhis. Skarang anak saya yg pertama sudah SMP kls 1, yg ke 2 SD kls 4, Yg ke 3 SD kls 2. Lebaran kemarin kami sekeluarga keliling Jawa dan kami sempat mampir ke Balerejo dan bertemu Bhante Uttamo, Ke DipaArama bertemu Bhante Kanti, Ke tempat Bhante Pannavaro di Mendut (saya lupa nama viharanya) tapi tidak bertemu beliau. Di tmpat2 tersbt kami bersama teman2 (3 keluarga) mengajarkan anak2 kami untuk berdana. Mereka semua senang dan mengatakan kalau "tahun depan pergi lagi ya, Ma". Sekali lagi ini hanya sekedar cerita dari saya, tanpa bermaksud apa2. Saya juga sangat bersyukur bisa menemukan situs Secangkir Teh ini, karena saya bisa belajar agama Buddha melalui situs ini. Terima kasih buat para guru di ST. _/\_
Memng kita sebagai orang tua lah yang harus membimbing anak2 kejalan yang benar, karena anak2 masih polos, apa yang mereka terima itulah yang akan mereka terapkan di kemudian hari.Setelah membaca tulisan diatas saya ingin berbagi cerita, tanpa bermaksud apa2.Saya dulu sekolah di sekolah kristen. Aktif di gereja, dpt suami jg yg lulusan sekolah kristen. Tapi kami berdua tidak di baptis. Jd masih ikut or tu sembhayang leluhur dsb. Anak pertama kami jg di sekolahkan di sekolah katholik sampai kelas 4 SD bersama adiknya yg masih TK. Ketika Anak kedua kami mau masuk kelas 1 SD dan anak ke 3 kami mau masuk Playgroup kebetulan kami pindah rumah. Akhirnya kami mencarikan sekolah, yg lagi2 sekolah kristen yg deket rumah. Begitu kami pulang dari sekolah yg baru dengan membawa formulir pendaftaran, kami bertemu dgn tetangga dan merekomendasikan sekolah yg sama dengan anak nya yaitu sekolah Dharma Suci. Singkat cerita akhirnya anak kami pun sekolah di sekolah tersebut dan setiap minggu anak2 kami dianjurkan ke vihara untuk sekolah minggu. Semenjak itu saya dan suami mulai belajar agama buddha melalui buku pelajaran anak2 kami ataupun situs2 budhis. Lama kelamaan karena sering mengantar anak ke vihara, kami berdua mulai tertarik untuk kevihara. Pertma masuk vihara biasa2 aja. Lama-lama jd rutin seminggu sekali. Pokoknya kalau hari Minggu setengah harinya anak2 kami menghabiskan waktu buat pergi ke vihara, dan mereka tidak pernah mengeluh karena sudah terbiasa. Kalau mereka pengen kesuatu tempat mereka selalu mengatakan :"Ma, nanti habis dari vihara kita ke Megamall, ya?" Selalu Vihara yg jd tujuan utama. Sedangkan saya dan suami kalau Sabtu ikut kebaktian di VPDS. Kadang2 kami suka bersama teman2 dengan mengajak anak2 pergi ke vihara untuk dana makanan buat para bhikhu. Rasanya memang beda kalau sekeluarga mempelajari agama yg sama. Kalau berbicara topikny engak kemana-mana, selalu ajaran sang Buddha yg jadi patokkan. Saya sangat bersyukur anak2 saya bisa sekolah di sekolah buddhis. Skarang anak saya yg pertama sudah SMP kls 1, yg ke 2 SD kls 4, Yg ke 3 SD kls 2. Lebaran kemarin kami sekeluarga keliling Jawa dan kami sempat mampir ke Balerejo dan bertemu Bhante Uttamo, Ke DipaArama bertemu Bhante Kanti, Ke tempat Bhante Pannavaro di Mendut (saya lupa nama viharanya) tapi tidak bertemu beliau. Di tmpat2 tersbt kami bersama teman2 (3 keluarga) mengajarkan anak2 kami untuk berdana. Mereka semua senang dan mengatakan kalau "tahun depan pergi lagi ya, Ma". Sekali lagi ini hanya sekedar cerita dari saya, tanpa bermaksud apa2. Saya juga sangat bersyukur bisa menemukan situs Secangkir Teh ini, karena saya bisa belajar agama Buddha melalui situs ini. Terima kasih buat para guru di ST. _/\_
~Boank~:
Anumodana Guru _/|\_
Gunawan S S:Anumodana Guru _/|\_
Senang Sekali Mendengar Cerita dari Cici Yeyen , Bisa di jadikan Contoh Yang Baik krn menurut saya Keluarga Buddhist Yang Baik ya seperti Keluarganya Cici Yeyen dimana semua anggota keluarganya menjalankan Dhamma dalam Kehidupan sehari-harinya serta otomatis akan berdampak kpd anak kita kelak.
Sukhi Hotu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar