gambar buddha

gambar buddha
Jangan Berbuat Jahat Tambahlah Kebajikan Sucikan Hati dan Pikiran Inilah Ajaran Para Buddha

Minggu, 16 Januari 2011

Riwayat Mahamonggalana part 1

Di dekat ibukota kerajaan Magadha (sekarang berada di distrik Bihar, India) terdapat beberapa kota kecil. Di salah satu kota itulah,  Kolita  Moggallana  dilahirkan  dalam  sebuah  keluarga Brahmana yang mengaku diri mereka sebagai keturunan dari Mudgala – nama salah seorang peramal kuno. Oleh karena itu klan  ini  disebut  klan  “para  Moggallana.”  Kota  kecil  tersebut seluruhnya  dihuni  oleh  kaum  Brahmana  dan  teramat  sangat kolot. Ayah Kolita terlahir dalam sebuah keluarga yang sangat terkemuka—dari  keluarga  inillah  biasanya  walikota-walikota ditunjuk.  Menjadi  salah  satu  anggota  dari  kasta  tinggi  dan keluarga paling terkemuka di kota itu, ayahnya hidup bagaikan seorang  raja  kecil.  Dengan  demikian  Kolita  tumbuh  besar  di lingkungan  yang  penuh  kekayaan  dan  penghormatan,  tanpa pernah  mencicipi  rasa  penderitaan.  Dia  sepenuhnya  dididik dalam tradisi Brahmana yang didasarkan pada kaidah benih dan berbuahnya setiap tindakan. Sudah sewajarnya, pendidikan itu termasuk  juga  pendidikan  mengenai  kepercayaan  mengenai adanya kehidupan selanjutnya, menjadikannya sebagai bagian dan rangkaian dalam kehidupan sehari-hari dan ritualnya.

Keluarga   Kolita   sangat   bersahabat   dengan   satu   keluarga Brahmana lainnya dari desa tetangga. Pada saat yang hampir bersamaan  dengan  kelahiran  Kolita,  lahir  juga  seorang  putra dari keluarga tersebut yang diberi nama Upatissa. Ketika anak- anak itu tumbuh besar, mereka berteman dan dengan segera menjadi  tidak  terpisahkan.  Apapun  yang  mereka  lakukan, mereka akan melakukannya bersama-sama, entah itu bermain atau  belajar,  bersenang-senang  atau  bekerja.  Mereka  selalu terlihat  bersama  dan  persahabatan  mereka  tidak  terputus sampai akhir hayat mereka yang lebih dari 80 tahun. Mereka tidak pernah berselisih dan memendam iri hati satu sama lain. Mereka  selalu  hidup  harmonis  dan  menyelesaikan  kesulitan apapun bersama-sama.

Walaupun  demikian  dalam  hal  kepribadian  mereka  cukup berbeda.   Upatissa   lebih   bersifat   pelopor,   pemberani   dan petualang,    sedangkan    Kolita    lebih    bersifat    memelihara, mengembangkan dan memperkaya apa yang telah dia dapatkan. Demikian pula posisi mereka di dalam keluarga masing-masing. Kolita adalah anak satu-satunya, sedangkan Upatissa memiliki tiga saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan. Bagi mereka berdua,  persahabatan  mereka  sangatlah  berarti,  dan  mereka sangat  padat  mengisi  hari-hari  mereka  sedemikian  sehingga sebagai remaja mereka tidak
terlalu banyak sempat memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis mereka, kendati mereka juga tidak  terlepas  dari  kesenangan-kesenangan  dan  kegemaran-khusus  untuk  mereka  pada  hari  ketiga,  saat  dimana  sebuah acara pertunjukan baru telah diumumkan sebelumnya dengan meriah. Tidur mereka tidak nyenyak malam itu karena masih dibayang-bayangi  oleh  kesan-kesan  pada  hari  sebelumnya.
Sembari tetap terjaga, Kolita berpikir: “Apakah kegunaan dari semua ini? Apakah memang ada sesuatu yang berharga untuk dilihat? Apa manfaat yang diberikan? Setelah beberapa tahun, para  aktor  glamor  ini  akan  menjadi  tua  dan  lemah;  mereka bakal  meninggalkan  panggung  kehidupan  dan  melanjutkan perjalanan mereka melalui alam-alam, yang disetir oleh nafsu keinginan mereka. Hal yang sama juga akan terjadi pada kami. Para aktor ini tidak dapat menolong diri mereka sendiri dalam menyelesaikan  problem  eksistensial  mereka.  Jadi,  bagaimana mereka bisa membantu kami? Bukan memikirkan pembebasan, kami malah hanya membuang-buang waktu disini!”

Upatissa  juga  mengalami  malam  yang  menggelisahkan,  dan pikiran  yang  serupa  juga  menghampirinya.  Dia  merenungkan bagaimana  mitologi-mitologi  dan  legenda-legenda  kuno  yang didramatisir  dalam  pertunjukan  itu,  yang  sebenarnya  naskah aslinya  mengenai  realitas  dari  kelahiran  kembali;  akan  tetapi dalam pertunjukan itu guyon dan kegembiraan mengaburkan gagasan tersebut, seolah-olah hanya masa kehidupan sekarang ini yang perlu diperhatikan. Bukankah ini sengaja menekan dan menindas kebenaran dengan ilusi yang sia-sia?

Pada  pagi  hari  di  hari  ketiga,  ketika  datang  menuju  tempat mereka di festival, Kolita berkata pada sahabatnya: “Ada apa denganmu? Kamu tidak segembira seperti hari-hari sebelumnya?

Apa   yang   menekanmu?”   Sahabatnya   menjawab:   “Katakan padaku, apa manfaat dari semua kesenangan mata dan telinga ini?  Semuanya  benar-benar  tak  berguna  dan  tak  berharga! Apa  yang  lebih  ingin  kulakukan  adalah  mencari  sebuah  jalan untuk bebas dari hukum perubahan yang menghancurkan ini, sebuah  jalan  menuju  pembebasan  dari  ilusi  kehidupan  yang berlaku yang memikat kita dan kemudian bakal meninggalkan kita  tanpa  apa  pun.  Itulah  hal  yang  terlintas  dalam  benakku dan  membuatku  berpikir.  Akan  tetapi  kamu  juga,  sahabatku Kolita,  kamu  nampak  tidak  gembira!”  Kolita  membalas:  “Aku juga  merasakan  hal  yang  sama  denganmu.  Untuk  apa  kita berada disini lebih lama lagi, di pertunjukan receh yang sia-sia ini? Kita harus mencari jalan menuju kesucian!” Ketika Upatissa
mendengar sahabatnya mempunyai keinginan yang sama, dia dengan  gembira  berkata:  ”Itu  adalah  pemikiran  bagus  yang muncul dari masing-masing diri kita! Kita telah menyia-nyiakan hidup  dan  waktu  kita  cukup  lama  dengan  segala  kesia-sia itu.  Namun  apabila  seseorang  dengan  tekun  mencari  ajaran pembebasan, dia harus meninggalkan rumah dan hartanya dan pergi sebagai pengembara tak berumah, bebas dari kemelekatan duniawi dan nafsu, mereka terbang bebas ke angkasa seperti seekor burung.”

Jadi kedua sahabat itu memilih  untuk hidup  sebagai pertapa yang  mana  seperti  keadaan  mereka  saat  ini,  mengembara dalam jumlah yang besar sepanjang jalan India dalam pencarian seorang guru spiritual, seorang Guru yang dapat membimbing
mereka.  Ketika  mereka  mengatakan  pada  pengikut  mereka tentang   keputusan   yang   telah   diambil,   para   pemuda   ini begitu terkesan sehingga banyak dari mereka yang mengikuti kedua sahabat tersebut dalam upaya pencarian spiritual. Jadi mereka  semua  meninggalkan  kehidupan  rumah,  mengambil jalan pertapaan, memotong rambut dan jenggot mereka, dan mengenakan pakaian para pengembara relijius yang berwarna tanah pucat. Meninggalkan segala keistimewaan dan hak-hak khusus  dari  kasta  mereka,  mereka  memasuki  komunitas  tak berkasta sebagai pertapa.
                                                                                                                                      

                
                    
                       Bersambung Lagi ya ………… Ke part 2
                                                                                                                   


Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga Semua Mahluk hidup berbahagia






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagai mana dgn blog saya