
Keluarga Kolita sangat bersahabat dengan satu keluarga Brahmana lainnya dari desa tetangga. Pada saat yang hampir bersamaan dengan kelahiran Kolita, lahir juga seorang putra dari keluarga tersebut yang diberi nama Upatissa. Ketika anak- anak itu tumbuh besar, mereka berteman dan dengan segera menjadi tidak terpisahkan. Apapun yang mereka lakukan, mereka akan melakukannya bersama-sama, entah itu bermain atau belajar, bersenang-senang atau bekerja. Mereka selalu terlihat bersama dan persahabatan mereka tidak terputus sampai akhir hayat mereka yang lebih dari 80 tahun. Mereka tidak pernah berselisih dan memendam iri hati satu sama lain. Mereka selalu hidup harmonis dan menyelesaikan kesulitan apapun bersama-sama.
Walaupun demikian dalam hal kepribadian mereka cukup berbeda. Upatissa lebih bersifat pelopor, pemberani dan petualang, sedangkan Kolita lebih bersifat memelihara, mengembangkan dan memperkaya apa yang telah dia dapatkan. Demikian pula posisi mereka di dalam keluarga masing-masing. Kolita adalah anak satu-satunya, sedangkan Upatissa memiliki tiga saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan. Bagi mereka berdua, persahabatan mereka sangatlah berarti, dan mereka sangat padat mengisi hari-hari mereka sedemikian sehingga sebagai remaja mereka tidak

terlalu banyak sempat memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis mereka, kendati mereka juga tidak terlepas dari kesenangan-kesenangan dan kegemaran-khusus untuk mereka pada hari ketiga, saat dimana sebuah acara pertunjukan baru telah diumumkan sebelumnya dengan meriah. Tidur mereka tidak nyenyak malam itu karena masih dibayang-bayangi oleh kesan-kesan pada hari sebelumnya.
Sembari tetap terjaga, Kolita berpikir: “Apakah kegunaan dari semua ini? Apakah memang ada sesuatu yang berharga untuk dilihat? Apa manfaat yang diberikan? Setelah beberapa tahun, para aktor glamor ini akan menjadi tua dan lemah; mereka bakal meninggalkan panggung kehidupan dan melanjutkan perjalanan mereka melalui alam-alam, yang disetir oleh nafsu keinginan mereka. Hal yang sama juga akan terjadi pada kami. Para aktor ini tidak dapat menolong diri mereka sendiri dalam menyelesaikan problem eksistensial mereka. Jadi, bagaimana mereka bisa membantu kami? Bukan memikirkan pembebasan, kami malah hanya membuang-buang waktu disini!”
Upatissa juga mengalami malam yang menggelisahkan, dan pikiran yang serupa juga menghampirinya. Dia merenungkan bagaimana mitologi-mitologi dan legenda-legenda kuno yang didramatisir dalam pertunjukan itu, yang sebenarnya naskah aslinya mengenai realitas dari kelahiran kembali; akan tetapi dalam pertunjukan itu guyon dan kegembiraan mengaburkan gagasan tersebut, seolah-olah hanya masa kehidupan sekarang ini yang perlu diperhatikan. Bukankah ini sengaja menekan dan menindas kebenaran dengan ilusi yang sia-sia?
Pada pagi hari di hari ketiga, ketika datang menuju tempat mereka di festival, Kolita berkata pada sahabatnya: “Ada apa denganmu? Kamu tidak segembira seperti hari-hari sebelumnya?
Apa yang menekanmu?” Sahabatnya menjawab: “Katakan padaku, apa manfaat dari semua kesenangan mata dan telinga ini? Semuanya benar-benar tak berguna dan tak berharga! Apa yang lebih ingin kulakukan adalah mencari sebuah jalan untuk bebas dari hukum perubahan yang menghancurkan ini, sebuah jalan menuju pembebasan dari ilusi kehidupan yang berlaku yang memikat kita dan kemudian bakal meninggalkan kita tanpa apa pun. Itulah hal yang terlintas dalam benakku dan membuatku berpikir. Akan tetapi kamu juga, sahabatku Kolita, kamu nampak tidak gembira!” Kolita membalas: “Aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Untuk apa kita berada disini lebih lama lagi, di pertunjukan receh yang sia-sia ini? Kita harus mencari jalan menuju kesucian!” Ketika Upatissa

mendengar sahabatnya mempunyai keinginan yang sama, dia dengan gembira berkata: ”Itu adalah pemikiran bagus yang muncul dari masing-masing diri kita! Kita telah menyia-nyiakan hidup dan waktu kita cukup lama dengan segala kesia-sia itu. Namun apabila seseorang dengan tekun mencari ajaran pembebasan, dia harus meninggalkan rumah dan hartanya dan pergi sebagai pengembara tak berumah, bebas dari kemelekatan duniawi dan nafsu, mereka terbang bebas ke angkasa seperti seekor burung.”
Jadi kedua sahabat itu memilih untuk hidup sebagai pertapa yang mana seperti keadaan mereka saat ini, mengembara dalam jumlah yang besar sepanjang jalan India dalam pencarian seorang guru spiritual, seorang Guru yang dapat membimbing
mereka. Ketika mereka mengatakan pada pengikut mereka tentang keputusan yang telah diambil, para pemuda ini begitu terkesan sehingga banyak dari mereka yang mengikuti kedua sahabat tersebut dalam upaya pencarian spiritual. Jadi mereka semua meninggalkan kehidupan rumah, mengambil jalan pertapaan, memotong rambut dan jenggot mereka, dan mengenakan pakaian para pengembara relijius yang berwarna tanah pucat. Meninggalkan segala keistimewaan dan hak-hak khusus dari kasta mereka, mereka memasuki komunitas tak berkasta sebagai pertapa.
Bersambung Lagi ya ………… Ke part 2
Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga Semua Mahluk hidup berbahagia
Semoga Semua Mahluk hidup berbahagia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar